Sabtu, 14 Mei 2011

Bomer Pasaribu "Perburuhan Bukan Faktor Tunggal Investasi"

Bomer Pasaribu adalah salah seorang pakar tentang ketenagakerjaan yang dimiliki Indonesia. Di masa pemerintahan Presiden, KH. Abdurrahman Wahid, dia dipercaya sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (1999-2001). Kini, selain beraktivitas sebagai anggota Fraksi Partai Golkar dan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI, Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini juga seorang akademisi yang mengabdikan ilmunya sebagai pengajar bidang studi Sumber Daya Manusia dan Pembangunan pada Program S2- dan S-3.
Selama 19 tahun terakhir, Bomer ikut dan memimpin delegasi Indonesia ke Konferensi ILO (International of Labour Organisation) atau Organisasi Buruh Dunia. Dia sering diundang ke luar negeri sebagai pembicara dalam seminar soal dunia ketenagakerjaan dan kemiskinan.

Saat berbincang-bincang tentang kondisi dunia ketenagakerjaan di Indonesia dengan Anis Fuadi dari Berita Indonesia, di ruang kerjanya Gedung DPR/MPR, Jakarta, pertengahan April silam, Direktur CLDS (Center of Labour and Development Studies) ini mengungkapkan pandangannya dengan jelas, kritis, dan obyektif. Berikut petikan wawancara lengkapnya.
Awal April silam terjadi gelombang demonstrasi pekerja di sejumlah daerah di tanah air, menentang rencana pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan. Apa makna di balik peristiwa tersebut, menurut Anda?
Sewaktu berlangsung aksi demonstrasi buruh berskala sangat besar di berbagai penjuru tanah air, saya tengah berada di Vietnam menjadi salah seorang pembicara utama dalam sebuah seminar internasional yang diselengarakan oleh Organisasi Parlemen se-Asia, bertema ‘Pengangguran dan Kemiskinan’, (4-7 April 2006).
Selama berlangsung seminar, melalui dua televisi besar yang disediakan panitia seminar, seluruh peserta dapat menyaksikan liputan CNN seputar dua peristiwa besar di dunia, yakni demonstrasi berskala besar oleh pekerja di beberapa daerah di Indonesia dan aksi demonstrasi gabungan mahasiswa dan buruh yang mengguncang Perancis.
Tak ayal, dua isu itu menjadi perbincangan hangat seluruh peserta seminar. Apalagi, hampir setiap jam, CNN menyiarkan breaking news tentang perkembangan demonstrasi pekerja di tanah air dan Perancis.
Di sela-sela seminar tersebut, saya diwawancarai wartawan asing dari TV Belanda, TV Australia, TV Jepang, dan TV Perancis. Mereka menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di balik aksi demonstrasi pekerja di Indonesia.
Apa sebenarnya masalah ketenagakerjaan di Indonesia?
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia boleh dikatakan mengalami satu periode panjang ‘ketertekanan’. Pertama, pada zaman Orde Lama pekerja (sering disebut buruh) dulu tertekan karena hanya dilibatkan menjadi kuda tunggangan politik golongan yang disebut Nasakom waktu itu. Jadi, para pekerja saat itu bukan diberdayakan untuk kepentingan pelipatgandaan kesejahteraannya. Berarti selama Orde Lama, nasib pekerja sangat tertekan dan menderita.
Di masa Orde Baru, gerakan pekerja juga tertekan di berbagai aspek, bukan hanya di dalam hak politiknya, hak berdemokrasi, hak ekonomi, dan hak asasi. Kehidupan pekerja saat itu tertekan akibat strategi pertumbuhan investasi sehingga dari tiga unsur Tripartit (unsur pimpinan serikat pekerja, unsur pimpinan pengusaha, dan pemerintah) yang seharusnya setara, unsur pekerja dan serikat-serikat pekerja berada di posisi terlemah. Yang paling kuat tentulah pemerintah dan pengusaha serta organisasi pengusaha.
Baik pada Orde Lama maupun Orde Baru, selalu yang didominasi adalah pekerja dan yang selalu mendominasi adalah pemerintah dan pengusaha.
Selanjutnya, pada periode 1995-1997, ada tanda-tanda pergeseran pola hubungan antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja/serikat pekerja. Hal itu disimbolisir oleh keputusan Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 144 tentang Tripartit pada tahun 1995. Akhirnya dibentuklah lembaga Tripartit mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia mengikatkan dirinya pada mekanisme Tripartit yang berlaku secara internasional, yang menempatkan tiga pihak: pemerintah, pengusaha, dan pekerja; dalam posisi yang setara. Yang selama ini di era Orla dan Orba bargaining position pekerja Indonesia selalu berada di bawah supremasi pemerintah dan pengusaha.
Pada 1995-1996, ada keinginan mengganti UU No. 12 tahun 1964 karena dinilai sudah terlalu ketinggalan zaman dan tidak senafas dengan semangat Konvensi ILO 144.
Rencana perubahan UU itu kemudian didiskusikan di forum Tripartit Nasional (Tripartitnas) dan berlangsung sangat alot, komprehensif, dan relatif menyita waktu lama sekitar 1,5 tahun. Itu adalah hasil pekerjaan yang melelahkan dan sebagai konsensus dari forum Tripartitnas.
Draft hasil perumusan Tripartitnas itu selanjutnya disampaikan ke Presiden dan DPR untuk dibahas oleh Pansus DPR secara mendalam sampai akhirnya keluarlah UU No. 25 tahun 1997. Saya waktu itu ikut terlibat dalam Pansus itu.
Pada 2002 kembali muncul keinginan untuk memperbaiki substansi UU 25/1997. Merespons itu, forum Tripartitnas kembali membahasnya selama hampir 1,5 tahun juga sampai lahirlah UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, meskipun proses evaluasi dan revisi atas UU lama berlangsung sangat alot, ketat, dan penuh perdebatan tajam tapi produk yang dihasilkan bisa diterima semua unsur Tripartit, karena semua unsur memang terlibat dan dilibatkan. Dan itu berlangsung di dalam ruangan tertutup. Jadi tidak perlu ada unjuk rasa, apalagi yang mengarah pada tindakan anarkis.
Singkatnya, ada keseimbangan yang bermuara pada titik kompromi dan consensus building dari proses perumusan yang melibatkan semua unsur Tripartit.
Kembali pada persoalan kemarin, seandainya memang ada keinginan pemerintah untuk mengevaluasi UU 13/2003 maka hal itu sepatutnyalah dibicarakan oleh forum Tripartit Nasional.
Menurut saya, berapapun lamanya waktu yang tersita, bagaimanapun alotnya proses yang dijalani, serta betapa besarnya energi yang terbuang dalam rangka mencari titik kompromi di antara ketiga unsur jauh lebih baik dibandingkan besarnya ongkos politik, ongkos ekonomi, ongkos sosial yang diderita oleh bangsa dan negara ini akibat aksi-aksi demonstrasi kalangan pekerja.
Tripartit adalah keharusan?
Saya sangat berharap forum Tripartitnas benar-benar diberdayakan secara efektif dalam proses evaluasi atau revisi terhadap UU 13/2003. Keberadaan forum Tripartit sudah merupakan keniscayaan sebab Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO nomor 144 tentang Tripartit.
Dari aspek substansi, di dalam UU 13/2003 itu jelas termaktub kepentingan pihak pekerja dan pihak pengusaha, termasuk pemerintah. Saya berharap ada consensus building yang dihasilkan dari forum Tripartit Nasional. Dengan kata lain, tidak ada pihak yang didominasi dan pihak yang mendominasi. Tripartit mensyaratkan adanya posisi setara di antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.
Soal revisi UU Ketenagakerjaan yang ditentang serikat pekerja?
Di DPR saya bertugas di Badan Legislasi DPR yang urusannya menyangkut pembentukan undang-undang. Berdasarkan UU No. 10 tahun 2004, DPR dalam hal ini Badan Legislasi (Baleg) adalah koordinator penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang melibatkan DPR dan Pemerintah.
Sejauh pengetahuan dan pemahaman saya seputar perkembangan pembentukan UU yang berlangsung di DPR, apa yang disebut dan belakangan ditentang habis-habisan oleh kalangan serikat pekerja Indonesia sebagai RUU Revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak tercantum di dalam Prolegnas 2004-2009 yang berjumlah 285 RUU.
RUU itu juga tidak ada di dalam Daftar RUU Prioritas 2006 yang berjumlah 43 RUU.
Baleg DPR belum pernah secara resmi menerima usulan pemerintah soal RUU revisi UU Ketenagakerjaan. Saya sendiri juga belum pernah membaca Naskah Akademik yang merupakan hasil pengkajian dari lembaga pendidikan/penelitian yang qualified.
Saya juga tidak tahu apakah RUU tersebut, kalau memang pemerintah sudah menyiapkannya, sudah memiliki ataukah belum naskah akademiknya. Yang pasti, di dalam naskah akademik itulah dipaparkan semua aspek secara komprehensif dan detil, seperti latar belakang mengapa UU Ketenagakerjaan mesti direvisi dan apa tujuannya. Naskah Akademik itu yang justru sangat penting dalam konteks pengajuan sebuah RUU, sebab draft RUU sendiri paling berapa halaman.
Kendati sudah ada Prolegnas dan RUU prioritas tahunan, pemerintah bisa saja mengajukan RUU yang baru kepada DPR sepanjang itu dianggap sangat urgen, termasuk seandainya pemerintah ingin merevisi UU Ketenagakerjaan, misalnya. Hanya saja, sekali lagi, draft RUU itu pun mesti dilengkapi naskah akademik.
Soal semangat menarik investasi yang melatarbelakangi rencana pemerintah merevisi UU 13 tahun 2003?
Jangan terlalu menyederhanakan persoalan seolah-seolah dengan revisi UU Ketenagakerjaan maka iklim investasi pasti tercipta, dan investor asing akan berduyun-duyun datang  ke Indonesia.
World Economic Forum (2005) menyebutkan, ada tujuh penghalang peluang investasi, dan perlu dicatat faktor perburuhan sendiri berada di urutan terakhir.
Itu artinya, betapa tidak mudahnya menarik investasi asing sekaligus tidak bisa pula kita menyederhanakan persoalan bahwa minat investasi hanya berkaitan dengan kondisi perburuhan.
Di Prolegnas ada RUU Penanaman Modal. Mungkin itu jauh lebih relevan untuk diberikan perhatian serius oleh pemerintah bila memang berniat meningkatkan minat investasi asing, bukannya merevisi UU Ketenagakerjaan. AF (Berita Indonesia 13)***
Biodata:
Nama Lengkap: DR. BOMER PASARIBU, SH., SE., MS.
Tempat/Tanggal Lahir: Batangtoru, Tapanuli Selatan, 22 Agustus 1943
Agama: Islam
Istri: Dra. Hj. Sari Ena Lubis
Anak: 5 (lima) orang
Pekerjaan Sekarang:
Anggota DPR RI 2004-2009 dari Partai Golongan Karya

Riwayat Pendidikan:
-    SDN Padang Sidempuan (1955)
-    SMPN B Padang Sidempuan (1958)
-    SLTAN B Padang Sidempuan (1961)
-    Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (S1-1976)
-    Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (S1-1980)
-    Institut Pertanian Bogor (S2-1996)
-    Program Doktor Institut Pertanian Bogor (S3-2000)

Pengalaman Kerja:
-    Staf Pimpinan Bank di Medan (1967-1980)
-    DPRD Prov. Sumatera Utara (1971-1982)
-    Anggota DPR RI Fraksi Karya Pembangunan (1982-1987)
-    Anggota MPR RI (1998-1999)
-    Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2000)

Pengalaman Organisasi:
-    Pimpinan Golkar Sumut & Pusat (1964-2004)
-    Anggota Manggala BP7 Pusat (1984)
-    Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Jakarta (1995-2000)
-    Pimpinan Federasi SPSI Pusat (1985-2002)
-    Pimpinan ISEI & PADI Pusat (1999-2004)
-    Pimpinan IRDES Jakarta (2001-2004)
-    Ketua Umum HPWD (2001-2004)
-    Direktur CLDS (Center of Labour and Development Studies)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar