Sabtu, 28 Mei 2011

LEMAHNYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGURUS/ANGGOTA SERIKAT BURUH

UNION BUSTING



Oleh :
Totok Yuli Yanto, S.H.
Perjuangan bagi para buruh/pekerja adalah ditangan pekerja. Kalimat tersebut menjadi pegangan bagi para pihak yang melakukan advokasi hak-hak buruh/pekerja diuluar serikat buruh/pekerja. Hak-hak buruh/pekerja dapat dipenuhi bila para buruh/pekerja-nya mengetahui apa yang menjadi haknya. Sehingga diperlukan sosialisasi atau pemberian pemahaman tentang hak-hak buruh/pekerja. Setelah para buruh/pekerja mengetahui apa yang menjadi haknya, maka langkah selanjutnya adalah membentuk alat bagi buruh/pekerja untuk menuntut haknya. Salah satu alat, dan merupakan alat yang efektif adalah dengan membentuk atau menggambungkan diri dalam serikat buruh/serikat pekerja. Dalam serikat buruh/serikat pekerja, buruh/pekerja dapat melakukan langkah-langkah bersama dengan cara yang mereka anggap mampu dilakukan dan efektif dilakukan untuk menuntut hak-hak bagi buruh/pekerja.

Sejak tahun 2000 Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang No 21 Tahun 2000 tentang serikat buruh/serikat pekerja. Pada Undang-undang tersebut diberikan hak kepada buruh/pekerja yakni membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha, mewakili buruh/pekerja dalam menyelesaikan perselisihan industrial, mewakili buruh/pekerja dalam lembaga ketenagakerjaan, membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan buruh/ pekerja, melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila perundingan tidak berhasil maka serikat buruh/pekerja dapat melakukan mogok kerja.
Undang-Undang No 21 Tahun 2000 juga memberikan perlindungan kepada pengurus/anggota serikat buruh/pekerja, dari pengusaha atau siapapun dalam hal menghalang-halangi atau memaksa buruh/pekerja untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh. Segala bentuk penghalang-halangan serikat buruh/pekerja merupakan suatu kejahatan dan dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Atas perlindungan yang diberikan UU No 21 Tahun 2000 atau UU No 13 Tahun 2003, serikat buruh seharusnya terlepas dari ketakutan dalam menjalankan aktifitasnya. Pada prakteknya serikat buruh/pekerja seringkali mendapatkan pembatasan-pembatasan dan penghalang-halangan dari pihak pengusaha atau orang lain (atas permintaan pengusaha). Banyak kasus yang pernah saya tangani dan dampingi adalah pembatasan-pembatasan dan penghalang-halangan dalam menjalankan aktifitas serikat buruh/pekerja. Pihak pengusaha ataupun orang suruhannya sering melakukan intimidasi kepada anggota serikat buruh/pekerja agar keluar dari serikat buruh/pekerja dan masuk kedalam serikat buruh/pekerja yang dibuat dan dibawah kenadali pengusaha. Para pengurus serikat buruh atau pekerja dikenakan PHK baik dengan alasan menjalankan aktifitas serikat buruh/pekerja, seperti yang terjadi pada kasus PT. Megariamas sentosa dimana ketua serikat buruhnya di PHK karena mengikuti pelatihan hubungan industrial ataupun karena alasan yang dibuat-buat oleh pengusaha seperti dianggap mangkir, buruknya kinerja dll. Pada perusahaan besar, cara yang dilakukan biasanya melakukan mutasi kepada pengurus serikat buruh/pekerja secara mendadak seperti yang dialami oleh Bambang Wisudo dan Ifkar Hajar Bagindo, sehingga diharapkan dapat melemahkan perjuangan serikat buruh/pekerja.
Ketika pembatasan/penghalang-halangan kegiatan serikat buruh terjadi negara tidak banyak mengambil sikap yang berarti, pegawai pengawas ketenagakerjaan yang memiliki kewajiban melakukan pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga tidak melakukan tindakan untuk menghentikan pembatasan dan penghalang-halangan terjadinya pembatasan dan penghalang-halangan kegiatan berserikat. Pegawai pengawas ketengakerjaan yang mendapatkan laporan terjadinya tindakan pembatasan dan/atau penghalang-halangan kegiatan berserikat hanya memanggil perusahaan, dan tidak melakukan tindakan yang berarti bagi perlindungan serikat buruh/pekerja. Seringkali mereka menggap pihak pekerja/buruh terlalu berleihan dalam menuntut haknya, dan terlalalu mengada-ada dalam menuntut apa yang menjadi hak-hak bagi buruh/pekerja.
Pihak kepolisian yang memiliki kewajiban melakukan penyelidikan dan penyidikan, tidak menjalankan kewajibannya secara benar, sehingga banyak laporan atas atas terjadinya kejahatan atas pembatasan/penghalang-halangan kegiatan serikat buruh/pekerja kemudiaan dimentahkan dengan dikeluarkannya SP3 (surat penghentian penyidikan). Dikeluarkannya SP3, bukan karena tidak adanya kejahatan terhadap serikat buruh/pekerja, tetapi pihak kepolisian tidak sungguh-sungguh melakukan penyidikan secara benar. Sejak awal pihak polisi memiliki anggapan bahwa pembatasan/penghalang-halangan kegiatan serikat buruh/pekerja adalah masuk dalam ranah privat dan bukan masuk ranah publik, sehingga penyelesiaanya bukan dengan pemberiaan sanksi pidana bagi pelapor, tetapi bagi buruh yang haknya dilanggar diharapkan menyelesaikan permasalahan tersebut di Pengadilan Perdata. Pola pikir polisi seperti itu mengakibatkan polisi tidak serius dalam melakukan penyidikan. Penyidikan dilakukan hanya untuk menenangkan masa buruh/pekerja yang mendesak kinerja kepolisiaan. Sehingga sudah lebih 8 tahun dikeluarkannya UU Serikat Buruh/Pekerja, tidak satu pun pelaku kejahatan serikat buruh/pekerja yang dihukum, padahal tindakan kejahatan kepada serikat buruh terus terjadi dan dilaporkan ke pihak kepolisiaan maupun dinas pengawas ketenangakerjaan.
Tidak adanya kewenangan dan prinsip agar tidak terjadi PHK menjadi dasar utama bagi pegawai pengawas, menjadi alasan lemahnya kinerja pegawai pengawas. Peraturan perungan-undangan yang memberikan perlindungan bagi anggota/pengurus serikat buruh/pekerja, hanya macan ompong, hanya untuk menggambarkan bahwa Indonesia telah memberikan perlindungan bagi serikat buruh/pekerja, tetapi pemerintah tidak mau menjalankan perlindungan bagi anggota/pengurus serikat buruh/pekerja. Hal ini memiliki dampak akan lemahnya perjuangan bagi para pekerja/buruh dalam menuntut hak-haknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar